Tulisan ini dilihami dari skandal anggota DPR dan sebuah tulisan Emha Ainun Nadjib yang di beri judul Beragama tapi Korupsi. Saat itu Emha ditanya dalam bentuk sebuah pilihan"misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"

Kemudian dia mempunyai pertanyaan balik "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca Al-Quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara. Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal Al-Quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga , orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"

Jawaban Emha tidak akan di bahas dalam tulisan ini, yang menjadi concern dalam tulisan ini adalah sebuah pertanyaan apakah yang menjadi dasar seseorang dalam memahami agamanya?

"Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta-hata kamu tapi melihat hati dan perbuatanmu." (H.R. Muslim).

Hati tersebut mengajarkan kita untuk menilai bahwa mulia tidaknya seseorang tidak dilihat dari tampilan lahiriahnya tapi dari performa batiniah atau hatinya.

Bahkan Al Qurtubi berpendapat bahwa ini adalah sebuah hadits agung yang mengandung pengertian tidak diperbolehkankannya bersikap terburu-buru dalam menilai baik atau buruknya seseorang hanya karena melihat gambaran lahiriah dari perbuatan taat atau perbuatan menyimpangnya.

Ada kemungkinan, di balik pekerjaan shaleh yang lahiriah itu, ternyata di hatinya tersimpan sifat atau niat kurang baik ato bahkan jahat yang menyebabkan perbuatannya tidak sah dan dimurkai Allah SWT. misalnya untuk kepentingan politik, bisnis atau hal yang lebih simpel lagi datang ke talim karena disitu ada si doi.

Sebaliknya, ada kemungkinan pula seseorang yang terlihat teledor dalam perbuatannya atau bahkan berbuat maksiat, ternyata di hatinya terdapat sifat terpuji yang karenanya Allah swt. memaafkannya dan malah bisa berintropeksi diri, membersihkan hati untuk meluruskan lagi niatnya.

Hati itu bagaikan kaca, klo kaca itu bening, apa yang kita lihat dibalik kaca tersebut akan tampak apa adanya. Yang putih akan jelas putihnya, yang biru muda akan jelas warna aslinya. Dan ketika kaca itu berdebu yang menyebabkan kaca tersebut tidak sebening semula, apa yang kita lihat dibali kaca tersebut akan menjadi samar bahkan terkadang tidak bisa dilihat lagi. Yang putih akan kelihatan abu muda dan warna biru muda akan menjadi biru tua.
Demikian juga hati, kalau hati jernih, kita akan melihat realita itu apa adanya, berbuat dengan penuh ketulusan, sementara kalau hati kita kotor dan berdebu atau bahkan hitam, kita akan melihat realita itu tidak seperti sebenarnya dan ada sesuatu yang kita harapakan di balik semua perbuatan itu.

Sesungguhnya perbuatan-perbuatan lahir itu hanya merupakan tanda-tanda dhanniyyah (yang diperkirakan) bukan qath'iyyah (bukti-bukti yang pasti). Oleh karena itu tidak diperkenankan berlebih-lebihan dalam menyanjung seseorang yang kita saksikan tekun melaksanakan amal saleh, sebagaimana tidak diperbolehkan pula menistakan seorang muslim secara berlebihan yang kita pergoki melakukan perbuatan buruk atau maksiat. Demikian Imam Qurtubi menjelaskan dalam tafsirnya.

Dalam riwayat lain disebutkan,

"Ali bin Abi Thalib r.a. menceritakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Tiada satu hati pun kecuali memiliki awan seperti awan menutupi bulan. Walaupun bulan bercahaya, tetapi karena hatinya ditutup oleh awan, ia menjadi gelap. Ketika awannya menyingkir, ia pun kembali bersinar." (H.R.Bukhari dan Muslim)

Hadits ini memberikan ilustrasi yang sangat indah. Hati manusia itu sesungguhnya bersih atau bersinar, namun suka tertutupi oleh awan hingga sinarnya menjadi tidak tampak. Oleh sebab itu, kita harus berusaha menghilangkan awan yang menutupi cahaya hati kita.

Karena susahnya menjaga kebeningan hati, semoga Allah selalu mengingatkan dan membimbing saya untuk selalu kembali membeningkan dan menata hati sehingga dapat meluruskan niat2 saya. Karena dengan kebeningan hatilah seharusnya yang menjadi dasar dalam memahami agama dan mengamalkannya.Tsabit qalbi ala diniika.