Oleh K.H. ABDULLAH GYMNASTIAR

KEBENINGAN hati menciptakan kedamaian dan kebersamaan. Lalu, bagaimana kiat menuju kebeningan hati itu? Ikhtiar pembersihan hati harus dimulai dengan upaya memahami diri dan orang lain. Tanpa pemahaman dan pengenalan yang mendalam mustahil kita bisa terhindar dari kekotoran hati. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa sumber dari kiat mengelola kalbu (manajemen kalbu) adalah pengenalan diri.

Seseorang yang mampu mengendalikan perasaaan (emosinya) adalah orang yang bisa memahami siapa dirinya. Jadi, tentunya kita akan bisa mengendalikan diri begitu kita mengenalnya secara mendalam. Orang-orang yang terkadang tidak mampu mengendalikan dirinya, itu karena mereka merasa asing dengan dirinya sendiri. Lalu, bisa terjadi pada suatu masa mereka melakukan perbuatan maksiat dan keji, sementara mereka merasa melakukannya tanpa sadar.

Kunci pemahaman diri terletak pada hati. Hati bisa memperlihatkan secara jelas siapa diri kita dan bagaimana watak kita. Hati yang bersih, bening, dan jernih insya Allah bisa memperlihatkan kebersihan, kebeningan, dan kejernihan pada pribadi kita.

Untuk mengenal diri, kita tentu memulainya dari kedalaman diri kita sendiri -dari kedalaman kalbu atau apa yang disebut dengan nurani. Inilah yang sering dikenal dengan upaya introspeksi diri (muhasabah). Jadi, manusia mampu mengenal dirinya melalui satu proses pendalaman, bukan tiba-tiba saja bisa memahami dirinya. Proses introspeksi diri ini tentunya bisa berjalan efektif manakala kita mampu menata suasana hati, misalnya dalam keheningan dan dalam upaya keluar dari masalah-masalah yang membelit kita. Kita harus punya satu kepercayaan bahwa hanya kitalah yang bisa menolong diri kita sendiri.

1. Cermati potensi diri

Kita bisa mengenali potensi diri salah satunya melalui hubungan dengan orang lain. Hubungan dengan orang lain akan memungkinkan munculnya kritik. Untuk itu, kita pun mengembangkan sikap terbuka terhadap kritik yang datang dari luar diri kita. Artinya, kita juga harus berprasangka baik (husnudzan) tentang apa yang orang katakan terhadap diri kita, karena merekalah yang mungkin lebih objektif melihat potensi-potensi dalam diri kita.

Cara paling praktis dalam upaya pengenalan diri ini adalah melalui hubungan yang harmonis dengan lingkungan terdekat, yaitu keluarga. Keakraban kita terhadap seluruh anggota keluarga memungkinkan ketidaksungkanan terlontarnya kritik terhadap diri kita.

Setelah lewat lingkungan keluarga, mulailah kita juga berhubungan secara harmonis dengan saudara, teman, tetangga, atau orang di dalam lingkungan pekerjaan. Mungkin di sini akan terasa lebih berat, karena keterbukaan kita akan mengalirkan kritik yang lebih hebat lagi. Kita harus siap untuk menahan kedongkolan dan kejengkelan karena mungkin saja orang-orang secara terang-terangan mengkritik diri kita. Namun, yakinlah bahwa proses ini insya Allah akan lebih membuat perkembangan emosi kita semakin baik dari hari ke hari.

Kritik adalah senjata ampuh untuk mengenal lebih jauh kelemahan diri kita. Alergi terhadap kritik berarti akan membuat tumbuh suburnya potensi negatif pada diri kita. Memang tidaklah mudah bagi seseorang menerima kritik, apalagi yang benar-benar menyakitkan. Ada kecenderungan bahwa kita ingin membela diri. Namun, jika kita memelihara penyakit alergi terhadap kritik, bersiaplah kita semakin asing terhadap diri kita sendiri. Kita benar-benar tidak yakin bahwa diri kita ini sombong, takabur, pelit, menyebalkan, atau mau menang sendiri.

Nah, bagaimana kita bisa benar-benar memperbaiki diri jika kita buta terhadap ketidaksempurnaan diri ini? Bagaimana mau membangkitkan semangat untuk senantiasa memperbaiki diri jika kita tidak mampu atau mau merasakan kelemahan diri kita?

Upaya-upaya memperbaiki diri akan efektif, jika kita menggerakkan segenap potensi positif dalam diri kita. Tentu dengan syarat bahwa kita telah mengetahui adanya kelemahan-kelemahan pada diri kita. Potensi untuk memperbaiki diri hanya bisa digerakkan dengan niat yang tulus.

Allah Swt. telah menyediakan sarana-sarana berupa potensi perbaikan diri tersebut. Namun, sarana-sarana itu tidak dapat digunakan tanpa dibarengi niat (tekad) untuk mengubah diri. Niat yang tulus akan menuntun kita pada perjalanan ruhani menuju Allah Swt. Inilah perjalanan yang merupakan tahapan-tahapan menuju perbaikan kualitas diri dari hari ke hari dan masa ke masa.

Kebaikan dalam diri kita bisa dilihat secara kasat mata melalui jasad dan akal. Potensi jasad dan akal yang tampak lahiriah sebenarnya digerakkan oleh potensi hati atau kalbu. Jadi, kalbu yang bersih akan menampakkan fisik dan pikiran yang bersih pula. Jasad dan akal hanya akan menuju pada suatu kebaikan jika dikendalikan oleh kalbu yang bersih yang membuat perbuatan kita menjadi bernilai dan berkualitas.

2. Fokuskan pada diri sendiri

Kebaikan bisa dicontohkan atau ditularkan dari atau kepada orang lain. Namun, kebaikan akan menjadi efektif merasuk pada diri manakala berpangkal pada diri kita sendiri. Ungkapan yang cocok dengan ini bahwa sebaiknya kita mengurusi diri sendiri sebelum mencoba mengurusi orang lain.

Keinginan kuat atau kerinduan melihat sebuah kebaikan agar terjadi di lingkungan kita akan memotivasi diri untuk menebarkan kebaikan dari dalam diri kita. Kita tidak akan sungkan melakukan pembersihan jika melihat kekotoran di sekeliling. Kita dengan senang hati menciptakan suasana yang membuat orang lain berbahagia, apakah itu tersenyum, menolong, dan berupaya memberikan solusi. Pada akhirnya, akan terkondisikan keadaan yang dalam hal ini diri kita menjadi pusat kebaikan dan solusi bagi orang-orang di sekeliling kita.

3. Ubahlah persepsi

Persepsi adalah cara pandang kita terhadap potensi-potensi diri kita. Karena itu, jika kita mempersepsikan diri kita selalu gagal dan tidak bisa diperbaiki, sampai kapan pun kita tidak akan pernah sukses.

Dalam konsep manajemen kalbu pengubahan persepsi harus dimulai dengan mengukurnya pada kedalaman hati (nurani). Seseorang akan efektif mengubah persepsinya kalau ia menggunakan sarana kolbunya yang menuju kepada Allah Swt. akan berbicara bahwa pada dasarnya manusia memiliki sisi baik. Manusia bisa mengubah dirinya menuju kebaikan jika ia menghidupkan sisi baik dan mematikan sisi buruknya. Jadi, harus ada persepsi bahwa kita bisa menjadi lebih baik, kita bisa menjadi sukses, dan Allah Swt. senantiasa akan menolong hamba-Nya yang tulus bermunajat kepada-Nya. Persepsi inilah yang akan senantiasa menghidupkan motivasi dan keinginan kita menjadi manusia berprestasi. ***